Nurcholish Madjid
(Modernisasi, Sekulerisasi, dan Desakralisasi di Indonesia)
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam sejarah jatuh bangunnya sebuah tatanan sosial dalam berbagai bentuknya (khilafah, kerajaan, kesultanan, sampai kepada negara bangsa yang dianggap paling modern) selalu ditandai dengan bangkit atau munculnya gerakan-gerakan pembaharu yang melawan dan menentang sistim dan kekuasaan dengan berbagai cara.
Cara yang lazim ditempuh oleh para pemimpin dalam mengambil kebijakan sering kali berlawanan dengan penentang atau oposisi yang memang telah mengambil jarak untuk selalu mengontrol kebijakan pemerintah. Di masa lalu (dalam sejarah Islam) oposisi seringkali berwujud dalam bentuk kekuatan militer. Namun, cara-cara tersebut tentu berbeda dengan kondosi sekarang ini. Cara dengan kekuatan militer telah beralih oposisi dalam wujudnya dalam bentuk tatanan politik dengan kontrol yang sangat ketat dan kuat.
Namun demikian, tidak semua orang terlebih lagi tokoh reformis bisa dan setuju dengan oposisi dalam gerakan politik. Cara-cara kontrol sosial dengan beropini atau berwacana melalui bantuan media dengan posisi yang independen banyak mewarnai dalam gerakan pembaharuan (pembaruan) Islam di Indonesia bahkan mungkin melampaui Islam secara formal kelembagaan karena gerakan-gerakannya bermuatan pembelaan hak-hak warga negara (kemanusiaan).
Posisi mengambil sikap oposisi dalam negara Indonesia, terlebih di bawah rezim otoriter (Orde Baru), tentu membutuhkan kecerdasan mengambil posisi agar tidak dianggap dan dinilai oleh rezim sebagai bentuk perlawanan terhadap penguasa. Ini diperlukan karena terlalu banyak tokoh yang dipenjarakan oleh rezim karena secara terang-terangan melakukan perlawanan melalui opini (media). Bentuk atau model perlawanan tersebut mungkin saja telah dipilih dengan secara sadar dan dengan resiko yang telah diperhitungkan.
Nurcholish Madjid, salahsatu tokoh reformis Indonesia tiga zaman (Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi), memilih pendekatan budaya akademis dalam setiap gerakan dan opininya. Strategi ini kurang resiko untuk berbenturan dengan penguasa karena selalu membawa nilai-nilai pembaruan yang obyektif, yang langsung menyentuh warga sebagai umat. Oleh karena itu, gerakan-gerakan pembaruan Nurcholish tentang modernisasi, sekulerisasi, dan desakralisasi di Indonesia selalu diterima walaupun juga terjadi kontra karena gerakannya murni akademis (tidak politis/politik) dan selalu ingin memperbarui pola pikir masyarakat menengah. Perspektif penulis bahwa gerakan pada level ini sengaja dilakukan dengan harapan masyarakat akademisilah yang perlu diubah sebagai agen pembaruan untuk masyarakat dan pemerintahan waktu itu dan ke depan. Dan inilah sesungguhnya gerakan substansi Islam (islami) tanpa simbol-simbol keagamaan.
B. Pengertian Judul
Sebelum membahas lebih jauh tentang topik di atas dengan judul Nurcholish Madjid : Modernisasi, Sekulerisasi, dan Desakralisasi di Indonesia. Terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian topik tersebut. Kata Nurcholish Madjid adalah nama salah seorang yang dinilai sebagai tokoh pembaruan Indonesia. Tema-tema gerakan pembaruannya diantaranya tentang modernisasi, sekulerisasi, dan desakralisasi.
Kata modernisasi dari bahasa Inggris modern yang artinya orang yang modern. Jika diberi imbuhan isasi (proses) maka modernisasi sebanding dengan kata modernize maknanya memodernisasikan atau memoderenkan. Kata moderat (kb) berarti orang lunak, sedang kata sifatnya bermakna layak, yang sekedarnya. Sedang, kata sekulerisasi juga dari bahasa Inggris secular yang artinya duniawi, maksudnya usaha (proses) memindahkan kepada urusan kegiatan-kegiatan keduniawian. Kata desakralisasi dari kata dasar sakral bermakna sesuatu yang dianggap tidak biasa (dikeramatkan, dimuliakan). Desakralisasi bermakna tidak mensakralkan (memitoskan atau mengultuskan) sesuatu yang sebenarnya bertentangan prinsip-prinsip keyakinan kepada Tuhan.
Dengan demikian, judul tersebut memuat makna bagaimana membumikan atau memanifestasikan nilai-nilai kemoderenan, sekulerisasi (bukan sekularisme) yakni membumikan hal-hal yang bersifat duniawi tidak malah mengukhrawikannya (baca:akhirat). Dan usaha untuk tidak mensakralkan sesuatu yang tidak perlu disakralkan. Usaha-usaha tersebut tentu terkait dengan tokoh atau sosok Nurcholish Madjid, sebagai pembaru dalam masalah ini.
C. Rumusan Masalah
Memerhatikan latar masalah di atas, penulis mengangkat masalah :
1. Bagaimana memahami substansi pemikiran Nurcholish Madjid tentang kemoderenan (modernisasi), sekulerisasi, dan desakralisasi dalam kehidupan beragama dan berbangsa?
2. Bagaimana aktualisasi dan reaksi atas gagasan Nurcholish Madjid dalam konteks keagamaan dan keindonesiaan.
-------------
BAB II
PEMBAHSAN
A. Nurcholish Madjid: Modernisasi, Sekulerisasi, dan Desakralisasi
Sebelum terlalu jauh membahas masalah ini ada baiknya kita kutip ungkapan Nurcholish tentang latar dari gagasannya yang berangkat dari pemahaman tentang Al-Quran. Gagasan ini sebagai dasar pijakan perlunya modernisasi sekularisasi dan desakralisasi. Nurcholish mengungkapkan bahwa ziarah historis akan mengajak kita memahami Al-Quran dalam sebuah lanskap kehidupan yang kaya, sehingga mendorong munculnya pembaruan, penyegaran, dan perluasan horison keagamaan. Lebih dari itu, sebuah tradisi dan paham keagamaan tidak mengeras dan menutup diri, lalu menjadi ideologi yang disakralkan dan tabu terhadap setiap upaya penafsiran baru. Perluasan horison suit diwujudkan jika seseorang tidak menyadari bahwa semua peristiwa dan pemikiran (termasuk dalam penetapan hukum) selalu dibatasi kalau tidak dipengaruhi oleh situasi, termasuk bahasa Arab sebagai medium (alat) yang digunakan Al-Quran dan masyarakat Arab yang disapa secara langsung kala itu. Menyadari akan dimensi “situasional” ini maka tradisi Islam telah melahirkan sekian banyak mujtahid yang selalu berusaha memperluas horison penafsiran dan pemahaman umat Islam terhadap Al-Quran , yang resikonya kadang berupa perselisihan antar tokohnya
Masalah modern dalam ungkapan Nurcholish tersebut tersirat dalam ungkapannya bahwa diperlukan pembaruan, penyegaran, dan perluasan horison bukan hanya hal-hal yang berkaitan dengan perlunya penafsiran bidang ibadah semata tapi juga yang berkaitan langsung dengan kehidupan dunia. Diperlukannya modernisasi di sini dikarenakan kuatnya pengaruh situasional (budaya, tradisi, sosial kemasyarakatan) di mana sebuah ayat diturunkan.
Kajian berikutnya terkait dengan sekulerisasi. Jika ingin didalami lebih serius lagi, sebenarnya gerakan membumikan Al-Quran oleh Quraish Shihab atau membumikan Islam oleh Endang Saifuddin Anshori atau tema-tema lain yang semangatnya sama dengan itu, semuanya sedikit banyaknya mengandung gerakan sekularisasi. Jika sekularisasi yang dimaksud adalah menduniakan sesuatu yang bersifat duniawi dan tidak mensakralkannya.
Gerakan modernisasi dan sekularisasi Nurcholish terbaca dalam gagasan-gagasannya tentang pluralisme, kesetaraan, dan toleransi merupakan ide-ide etik dari diskursus civil society yang di Indonesia sering dilontarkan Nurcholish Madjid. Perhatian utama Nurcholish adalah yang berkaitan dengan bagaimana melacak otentisitas landasan etik nilai-nilai tersebut dalam khazanah Islam dan secara liberatif mampu membangun hubungan dialogis dengan wacana modernitas.
Relevansinya dengan modernisasi dan sekulerisasi Nurcholish berpendapat bahwa Islam adalah agama egaliter. Mengutip pandangan Ernest Gellner, bahwa prinsip Islam yang formal, sentral dan murni pada dasarnya bersifat egaliter dan ilmiah serta membantunya untuk menyesuaikan diri dengan peradaban modern. Usaha menyesuaian diri inilah, posisi gerakan modernisasi dan sekularisasi serta desakralisasi Nurcholish menemukan persamaannya. Nurcholish memahami bahwa Islam yang oleh Ernest dipahami sebagai agama yang egaliter dan ilmiah tidaklah dalam makna otomatis dan statis. Melainkan harus diusahakan dengan berbagai upaya, dan upaya itu termasuk menghindari sakralisasi ajaran dan budaya Islam.
Dalam konteks Indonesia, gagasan Nurcholish telah banyak memberi warna dalam kehidupan bernegara. Baca misalnya pernyataan beliau tentang Pancasila sebagai dasar negara. Setiap bangsa mempunyai etos atau suasana kejiwaan yang menjadi karakteristik utama bangsa itu. Etos itu kemudian dinyatakan dalam berbagai bentuk perwujudan seperti jati diri, kepribadian, dan ideologi. Pancasila disebut sebgai ideologi nasional. Tetapi pancasila adalah sebuah ideologi modern. Bukan hanya karena muncul di zaman modern, tapi juga lebih-lebih karena ia ditampilkan oleh seorang atau sekelompok orang dewasa dengan wawasan modern. Itulah sebabnya, Kiai Haji Ahmad Shiddiq (Ra’is Amm Nahdlat al-‘Ulama) mengemukakan bahwa Pancasila sebagai sebuah ideologi negara tidak perlu lagi dipersoalkan dan bersifat final. Namun, Nurcholish mengemukakan bahwa dari segi pengembangan prinsip-prinsipnya sehingga menjadi aktual dan relevan bagi masyarakat yang senantiasa tumbuh dan berkembang, pancasila tidak bisa lain kecuali harus dipandang sebagai ideologi terbuka yang dinamis.
Masalah simbol dan simbolisme dalam ekspresi keagamaan Nurcholis juga punya pandangan, khususnya dalam kehidupan ekonomi sosial. Kyai Ahmad Dahlan seringkali dikutip Nurcholish dalam beberapa kali ceramahnya. Ketika Kyai Ahmad Dahlan mulai menapak jalan menuju cita-cita reformasi Islam di Indonesia, beliau memperkenalkan dan mempropagandakan sebuah surat pendek al-Qur’an dari Juz ‘Amma, yaitu surat al-Ma’un (QS 107). Surat tersebut seringkali dibaca dalam shalat bahkan menjadi hafalan santri. Tetapi masyarakat Islam Indonesia seperti tidak pernah tersentuh oleh makna dan semangat firman Allah itu, dan tidak pula menyadari betapa surat pendek itu dapat menjadi pangkal gerakan kemanusiaan yang besar dan mendalam seperti Muhammadiyah dengan amal-amal sosialnya (lembaga pendidikan dari TK sampai Perguruan Tinggi, rumah sakit, lembaga dakwah, panti asuhan, dan baitul mall-nya.
Masalah pendidikan tidak lepas dari wacana pemikiran Nurholish Madjid. Dua dimensi hidup manusia, yakni Ketuhanan dan Kemanusiaan menjadi fokus utamanya. Beliau menegaskan bahwa pendidikan itu berangkat dari keluarga. Bayangkan, orang yang dituduh sebagai sekuler, masih berfikiran konservatif (tradisional) dalam masalah pendidikan. Dimensi Ketuhanan yang perlu ditanamkan adalah meliputi nilai-nilai yang sangat mendasar seperti: iman, Islam, ihsan, taqwa, ikhlas, tawakkal, syukur, shabr (sabar). Sedangkan nilai-nilai mendasar tentang kemanusiaan adalah: Silaturrahmi, persaudaraan, persamaan, adil, baik sangka, rendah hati, tepat janji, lapang dada, dapat dipercaya, perwira, hemat, dermawan. Semua itu adalah ilmu-ilmu terapan yang sangat universa.
B. Kontroversi Gagasan Nurcholish Madjid Dalam kehidupan Keagamaan dan Kenegaraan
Tidak mungkin dengan pengetahuan yang sempit dan dengan waktu yang terbatas, penulis dapat menjelaskan dengan lengkap sosok tokoh Nurcholish Madjid. Tetapi justru keterbatasan itulah penulis mencoba mengurai apa yang dapat penulis uraikan.
Dalam sebuah kesempatan, Nurcholish diminta memberi khutbah Idul Fitri yang menurut beliau merupakan hari raya kesucian manusia. Dalam suasana kesucian itu, kita akan kembali kepada kebahagiaan primordial kita, tempat leluhur kita Adam dan Hawa hidup bebas dan bahagia, yaitu kehidupan aman, tenteram, dan damai dalam kebahagiaan itu tidak ada sumpah-serapah dan caci-maki, yang ada ucapan salam, damai untuk semua.
Di sana mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia, juga tidak ucapan tuduhan berdosa, melainkan ucapan “Damai, damai!” semata. (Qs.al-Waqi’ah/56:25-26) Damai! Sebagai tegur-sapa dari Tuhan Yang Maha Kasih. (Qs. Yasin/36:58)
Dalam suasana rahmat dan kasih-Nya itu, Allah mengajarkan kepada kita bahwa hakikat kemanusiaan adalah satu, dengan tetap ada perbedaan yang tidak hakiki, yang perbedaan itu tidak seharusnya membawa kepada pertikaian. Bagi sementara kalangan di antara kita, perbedaan di antara kita, perbedaan lahiriah antara berbagai golongan disalahpahami sebagai perbedaan hakiki. Maka bagi mereka itu, seperti halnya bagi kaum musyrik, sulit sekali memenuhi ajakan untuk tidak berpecah-belah, untuk bersatu dalam ajaran dasar kesucian dari Tuhan Yang Maha Esa.
Di akhir khutbahnya Nurcholish menutup dengan ungkapan marilah kita galang persaudaraan antar umat, antar suku bangsa, dan antarsesama manusia seluruhnya. Marilah kita wujudkan masyarakat dan negara yang tertib, aman, dan damai, yang membuat bahagia seluruh warga negara. Marilah kita wujudkan itu semua dengan iman, amal kebajikan, bebas dari syirik pemujaan kepada harta dan kekuasaan.
Dari khutbah yang sengaja penulis kutip mengandung pesan bahwa semua manusia sama yang membedakan hanya budi pekerti dan taqwa. Jangan mengedepankan perbedaan tetapi persamaan karena perbedaan itu tidak hakiki. Yang menarik, Nurcholish menyebut syirik itu pada harta dan kekuasaan.
Lalu? Bagaimana kiprah Nurcholish di dunia politik? Nurcholish di tahun 1971 saat rezim orde baru berkuasa dengan militernya, muncul pernyataan yang mengundang polemik dan kontroversi “Islam Yes, Partai Islam No”. Apakah Nurcholish tidak senang dengan partai Islam (yang ketika itu PPP dengan lambang Ka’bah)? Dalam bukunya Islam Substantif, Prof. Azyumardi Azra menyatakan bahwa oleh Partai Masyumi Baru dengan ketuanya Ridwan (tokoh PPP yang hijrah ke Golkar) mencalonkan Nurcholish Madjid jadi Presiden pasca Habibie. Semua orang tahu bahwa waktu itu terjadi gejolak antara kubu Habibie dan Megawati. Ditampilkannya Cak Nur sebagai calon alternatif kalau-kalau Gusdur mundur dari pencalonan oleh poros tengah. Belakangan Nurcholish mengeluarkan pernyataan bahwa kalau dia maju sebagai presiden maka kemunduran bagi demokrasi kita dan tidak sehat bagi proses demokrasi. Bagi Cak Nur, yang pantas jadi calon Presiden adalah orang-orang partai politik, kecuali dalam situasi darurat yang benar-benar gawat.
Masalah sekulerisasi (dasar kata sekuler) yang juga menjadi tema pokok gagasan Cak Nur yang diwacanakan, mendapat tanggapan keras dari tokoh-tokoh lain. Seorang Doktor hadits (UIN Jakarta) bahkan dengan keras dan tegas telah mengecam pernyataan Cak Nur tersebut. Sekuler yang bermakna duniawi , sepintas memang sangat mengganggu masyarakat Indonesia yang beragama. Karena tentu dengan sendirinya istilah itu bertentangan dengan ajaran dan keyakinan. Jika nasionalisme sekuler diperhadapkan dengan nasionalisme sekuler maka penjelasan singkatnya adalah bahwa negara sekuler adalah negara yang memisahkan urusan agama dengan urusan publik dan politik ( sesuai semangat ungkapan Islam Yes, Partai Islam No). Sedangkan nasionalisme religius adalah suatu bentuk antitesis nasionalisme sekuler, dimana nasionalisme bersumber dari agama, bersumber dari keyakinan bahwa agama tidak hanya mengurus pasal ibadah, tetapi juga peduli terhadap masalah-masalah politik.
Inikah yang dimaksud Nurcholish Madjid tentang sekulerisasi? Menurut bacaan penulis dari berbagai sumber, tidak demikian. Gagasan ini muncul ketika banyak simbol-simbol agama yang sakral justru dibawa ke kehidupan dunia (diduniawikan), dan sebaliknya hal-hal yang sifatnya duniawi dikultuskan, disakralkan sehingga menuju pada pemusrikan (seperti pada pemujaan harta dan kekuasaan). Jadi, menurut penulis, gerakan sekulerisasi Nurcholish justru gerakan pemurnian ajaran Islam dalam bentuk dan versi yang berbeda dengan Muhammad Abduh atau Kyai Ahmad Dahlan.
------------
BAB III
PENUTUP
Menutup tulisan ini penulis mengajukan beberapa kesimpulan dari gagasan Nurcholish Madjid di atas. Kesimpulan itu tidaklah mewakili kesimpulan tentang gagasan dan pemikiran Nurcholish, tetapi kesimpulan dari hasil penilaian atau bacaan penulis tentang tokoh yang dibahas:
1. Nurcholish memandang bahwa semua manusia sama, termasuk kitab suci dan nabi pembawa risalah (ajaran) bersumber dari sumber yang sama yakni Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimana dengan agama? Apakah semua agama sama? Biarlah jadi bahan perdebatan dalam diskusi!
2. Karena semua manusia sama, maka yang membedakan di sisi Allah Swt hanya budi pekerti dan ketaqwaannya.
3. Gagasan Nurcholish tentang modernisasi, sekulerisasi, dan desakralisasi sebenarnya dalam rangka semangat membangkitkan umat Islam dari sakralisasi dan bangkit dari nilai-nilai bukan bangit dengan simbol-simbol keagamaan.
------------------
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Nur dan M. Ridhwan. Pesan Damai Idul Fitri. Jakarta: Kompas, 2003
Azra, Azyumardi. Islam Substantif. Bandung: Mizan, 2000
Hidayat, Komaruddin. Menafsirkan Kehendak Tuhan. Bandung: Teraju (Mizan), 2004
Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1999
Madjid, Nurcholish, et.al. Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern. Jakarta: Mediacita, 2000
M. Echols, John dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia, 2003
Nata, Abuddin. Problematika Politik Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Grasindo dan UIN Jakarta, 2002
Pribadi, Airlangga dan M.Yudhie R. Haryono. Post Islam Liberal. Jawa Barat: PT Gugus Press, 2002
Sidi, Indra Djati. Menuju Masyarakat Belajar. Jakarta: Paramadina, 2001
0 comments:
Posting Komentar
Silakan titip komentar anda..