Rabi’ah al-Adawiah adalah putri dari Ismail al-Adawiah, sehingga nama beliau terkadang ditulis oleh sejarawan Rabi’ah binti Ismail al-Adawi. Beliau lahir di Basrah sekitar tahun 95 H/ 713 M. Dan berpulang kerahmatullah pada tahun 185 H/810 M juga di kota Basrah.
Beliau diberi nama Rabi’ah al-Adawiah karena merupakan putri ke-4 dari 3 putri lainnya (kakaknya). Beliau berasal dari keluarga ekonomi sulit, bahkan ketikan beliau dilahirkan, minyak untuk penerangan lampu pada saat kelahirannya pun tak dimiliki keluarganya, karena kemiskinan yang berkepanjangan menimpa keluarganya sampai-sampai beliau berpindah status menjadi hamba sahaya.
1.Masa Muda Rabi’ah al-Adawiah
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa beliau adalah seorang hamba sahaya pada usia kecilnya. Ini terjadi ketika kedua orangtuanya meninggal dunia, sehingga secara terpaksa beliau terjual kepada seorang majikan yang sangat kejam dengan harga yang sangat murah. Lidah Attar telah menuturkan ahwal masa kanak-kanak Rabi’ah al-Adawiah:
Pada suatu malam, ketika Rabi’ah dilahirkan, dituturkan bahwa tak sehelaipun pakaian yang dapat digunakan untuk mengolesi pusarnya. Ketika itu, ayah Rabi’ah pergi ke tetangga-tetangganya untuk meminta bantuan. Ini atas permintaan istrinya, sekalipun sebelumnya ayah Rabi’ah telah memutuskan untuk tak meminta bantuan kepada selain Allah. Namun pada kali ini beliau dalam kondisi terdesak, sehingga secara terpaksa beliau melakukannya. Akan tetapi, tetap beliau tidak mendapat bantuan apa-apa dari tetangganya karena mereka semua sudah tidur . Kemudian ayah Rabi’ah kembali kerumah dan memberitahukan halnya, seketika itu bersedihlah sekeluarga yang pada akhirnya mereka juga tertidur dalam suasana sedih.
Pada saat tertidur, ayahnya Rabi’ah melihat Nabi Saw . Tiba-tiba muncul dihadapannya seraya berkata “Janganlah bersedih ! Engkau telah dianugrahi anak perempuan yang telah menjadi wali besar, syafaatnya dinantikan oleh 70.000 orang dari umatku” lalu Nabi kemudian memerintahkan kepadanya, “ Besok kirimlah surat ke Isa Radan (Amir Basrah) dengan mengingatkannya melalui isyarat ini, bahwasanya setiap malam dia berselawat 100 kali kepadaku, dan pada malam jum’at 400 kali(akan tetapi, pada malam jum’at ini, Ia telah melupakannku. Katakan kepadanya bahwa sebagai tebusannya dia harus memberikan 400 dinar
Pada saat fajar menyingsing, beliau terbangun sambil berurai air mata. Kemudian beliau dalam suasana kesedian. Menceritakan dan menuliskan mimpinya itu di dalam surat. Usai surat itu ditulis. Dikirimkan ke Basrah dan diserahkan kepada kepala rumah tangga istana untuk diberikan kepada Amir . Setelah membaca surat tersebut Isa Radan memerintahkan kepada prajuritnya untuk membagi-bagikan kepada orang-orang miskin sebanyak 10.000 dinar sebagai tanda syukur karena Nabi telah menyebut namanya. Terkhusus kepada ayah Rabi’ah, beliau mengirimkannya 400 dinar, seraya berkata meskipun aku sangat ingin agar orang ini (ayah Rabi’ah) mendatangiku, Akan tetapi, aku lebih memilih saya yang mendatanginya dan membersihkan debu yang ada ditelapak kakinya agar jenggotku. Demi Allah, kapan saja dalam membutuhkannya ‘maka beritahulah aku’
Sepeninggalan rang tua Rabi’ah, kelaparan hebat melanda kota Basrah. Semua saudara Rabi’ah berpencar, sementara dia sendiri jatuh di tangan seorang yang kejam melalangnya sebagai seorang budak dengan harga beberapa dirham saja. Pada suatu malam, tiba-tiba dihampiri oleh seseorang asing dan dia merasa ketakutan. Pada mulanya dia bermaksud untuk melarikan diri, namun dia terjatuh dan kakinya patah. Dan dalam keadaan bersujud di lumpur, dia melantunkan rintihan nurani dengan mengatakan, “ Ya Allah, aku ini orang asing yang tak berayah dan tak beribu lagi. Aku dijual sebagai budak dan kini pergelangan kakiku patah. Sekalipun demikian aku tak akan merasa sedih atas sesuatu yang menimpa diriku. Aku hanya mengingingkan ridha-Mu kepadaku. Sehingga aku bisa mengetahui apakah aku sudah memperoleh kerendahan-Mu atau belum. Seketika itu, beliau mendengarkan suara gaib, “janganlah bersedih, sebab di akhirat kela, niscaya engkau akan mendapatkan kedudukan yang begitu dibanggakan, bahkan oleh mereka yang dekat kepada Allah di Surga”
Lintas, Rabi’ah kembali kerumah majikannya dan mulai berpuasa secara rutin serta melaksanakan shalat sepanjang malam. Pada siang hari, beliau selalu sibuk membantu majikannya. Suatu malam beliau shalat lail dan tiba-tiba majikannya terbangun menyaksikan Rabi’ah yang sedang berdoa seraya bersujud di tanah. Dalam doanya beliau melantunkan, “Ya Allah, engkau tahu betul, satu-satunya yang kudambakan adalah benar-benar tunduk kepada perintah-Mu, cahaya mataku mengabdi kepada kerajaan-Mu. Jika itu terserah kepadaku, aku tidak akan berhenti beribadah kepada-Mu sesaatpun. Namun, engkau telah membuatku tunduk kepada seorang makhluk, karena itu, aku terlambat datang dalam beribadah kepada-Mu.
Setelah mendengar ucapan ini, tuanya bangkit dan merenung sendirian serta berfikir sambil mengatakan bahwa wanita seperti ini tidak pantas diperbudak. Keesokan harinya ia memanggil Rabi’ah lalu memerdekakannya sambil berkata, “Jika engkau berkenaan tinggal bersama kami, maka kami semua menerimamu dan melayanimu, akan tetapi jika sekiranya engkau tidak menginginkan tawaran ini, maka bisa pergi kemana saja semaumu. Rabi’ah ternyata cenderung kepada opsi kedua. Lalu beliau memfokuskan diri untuk beribadah dan beramal shaleh. Konon bahwa beliau 1x24 jam terkadang melaksanakan shalat sampai 1000 rakaat
Dalam salah satu sebuah riwayat disebutkan bahwa beliau pernah bekerja sebagai seorang peniup seruling untuk beberapa waktu lamanya. Kemudian beliau bertaubat dan hidup sebagai tunawisma diantara puing-puing keruntuhan bangunan, beliau berkamar untuk menyendiri beribadah maksimal semata. Akhirnya, beliau berangkat ke Makkah disanalah beliau betul-betul merasakan suasana hidup di padang pasir.
2.Rabi’ah dan Perkawinan
Sejumlah literatur menggambarkan bahwasanya Rabi’ah al-Adawiah tidak pernah menikah sepanjang usianya yang lebih kurang 90 tahun. Namun, tidak dapat dipungkiri kalau ada diantara literatur lain yang menyebutkan bahwa beliau pernah dinikahi oleh Abd Wahid Ibn Zayd. Akan tetapi, menurut hamat penulis Rabi’ah yang dimaksud bukanlah Rabi’ah al-Adawiah melainkan Rabi’ah al-Damsydy karena perempuan tersebut memang termasuk wanita sufi yang disebutkan oleh sejarawan sederetan dengan Rabi’ah al-Adawiah, pendapat ini mendapat justifikasi dari Javad Nurbaksh.
Ketika beliau ditanya, “kenapa tidak menikah?” beliau menjawab berkali-kali bahwa “ikatan perkawinan berkenaan hanya dengan wujud (jasad), adakah wujud dalam diriku ? Aku adalah bukanlah milikku sendiri, melainkan aku adalah milik-Nya. Dalam riwayat yang lain beliau menjawab, sesungguhnya dalam hatiku tidak ada lagi ruang yang ditempati untuk menyimpang rasa cinta kepada selain Allah.
Jawaban lain yang ditemukan, ketika beliau dilamar oleh Abd Wahid, Rabi’ah tidak menyambut baik lamaran itu. Bahkan beliau minder menjawabnya “wahai laki-laki seksual, carilah perempuan sensual lain yang sama dengan engkau. Apakah engkau melihat adanya tanda-tanda seksual pada diriku ?”. Begitupula beliau memberi jawaban terhadap lamaran Hasan al-Basry dengan ucapan yang sangat bijaksana dan didalamnya termuat maksud-maksud ketidaksiapan beliau untuk bersuami dengan siapapun orangnya.
3.Kezuhudan Rabi’ah al-Adawiah
Rabi’ah al-Adawiah adalah seorang asketis (zahidan) yang menjalani hidupnya dalam keadaan miskin. Beliau sebenarnya berulang kali ditawari bantuan dan bahkan kemewahan dari berbagai sahabatnya dan orang yang hendak melamarnya. Namun, mereka semua diabaikan oleh Ra’biah. Beliau tidak pernah sedikitpun merasa tergiur dengan kemewahan atau sesuatu yang mengalamatkan kemewahan duniawi. Ini pertanda sifat dan sikap seorang asketis ada pada kepribadian beliau. Bahkan prestasi beliau dalam hal kezahidan (asketisisme) cenderung mengungguli para sufi lainnya.
Al-Jahiz seorang generasi tua mengatakan bahwa beliau pernah beberapa kali ditawari untuk diberikan kepadanya seorang budak (khadimah) yang dapat melayani kebutuhan hidupnya. Namun, beliau menjawab, “sungguh aku sangat malu meminta kebutuhan duniawi kepada pemilik dunia ini. Bagaimana aku harus memintanya kepada selain pemiliknya ? Jawaban tersebut mencerminkan karakteristik seorang zahid menanggapi perkara dunia.
Note:
Makalah di atas belum lengkap, silahkan download:
Rabi'ah al adawiah Versi pertma
Rabi'ah al adawiah versi kedua
0 comments:
Posting Komentar
Silakan titip komentar anda..